Kamis, 17 Maret 2011

Anggrek Melengkung

Di sisi kiri pagar rumah saya ada anggrek hutan yang dipot begitu saja. Saya sebut begitu saja, karena sebetulnya ia anggrek yang tak terawat. Kalau pun selalu kami sirami, tak lebih untuk sebuah kewajaran saja. Tetapi dari sisi tata letak, perawatan dan perhatian, ia adalah tanaman sebatang kara. Terburuk adalah letaknya yang sedemikian rupa itu sehingga cahaya sama sekali tidak pernah menjangkaunya. Ia nyelip diujung pagar dengan matahari yang selalu terhalang untuk menyentuhnya. Tegasnya, ia anggrek tanpa sinar.

Tetapi selama ia berada di pagar itu, tak henti-hentinya ia memberi kami bunga jika musimnya telah tiba. Ungu, segar dan tahan berlama-lama. Jika bunga itu merekah, bukan cuma kami yang menyapa, tetapi juga orang-orang lewat dan para tetangga. ''Duh cantiknya,'' begitu biasanya kata mereka. Setiap komentar, membuat kami bahagia. Begitulah memang watak pujian. Jika pun ia dialamatkan kepada barang-barang kita, bahagiannya akan singgah ke kita juga.

Setelah sekian lama anggrek ini memberi kami bunga padahal dengan perawatan ala kadarnya, sampailah saya pada keheranan yang tak kami pikir sebelumnya. Yakni, betapa seluruh tubuh angrek ini ternyata bergerak ke satu jurusan saja, yakni menjulur ke luar, tepat ke bibir pagar arahnya. Gerakan ini tidak kami bentuk, tetapi anggrek itu sendirilah yang membentuk.

Butuh waktu bertahan-tahun bagi tanaman ini untuk membengkokkan diri seperti itu, tetapi agaknya itulah satu-satunya cara agar ia hidup, bertumbuh dan bisa mendermakan elok lewat bunga-bunganya. Butuh waktu bertahun-tahun! Dan taksiran saya, lebih dari sepuluh tahun sudah sejak anggrek itu ada di sana.

Lalu siapa yang meminta anggrek ini melengkungkan tubuh untuk menuju arah yang sama? Ternyata adalah kebutuhannya atas cahaya. Pojok yang dihuni anggrek ini adalah sisi gelap dan cuma di luar pagar itulah cahaya berada. Setitik demi setitik anggrek ini menjulurkan tubuhnya. Sel demi sel ia mengulur diri untuk menuju cahaya.

Cahaya itu memang cuma beberapa inchi saja dari tubuhnya, ia cukup di luar pagar, wilayah yang tak terhalang tembok tetangga. Tetapi bagi anggrek ini, itulah jarak yang amat jauh, yang harus ditempuh dengan hitungan tahun, lebih dari sepuluh tahun karena pot itu telah ada di sana sejak putri kecil saya yang balita dan kini ia telah beranjak dewasa.

Saya jadi malu pada anggrek yang senantiasa berjuang mencari cahaya tanpa mengeluh ini. Sebuah perjalanan yang intens, yang secara konsisten ia lakukan tak peduli apakah kami sedang memperhatikannya atau tidak. ''Yang saya tau, cahaya itu ada di sana, dan langkah ini, harus terus menuju ke sana,''begitulah pasti tekat anggrek ini.

Tak perlu saya menebak-nebak karena ia telah menyodori kami bukti atas seluruh jerih payahnya. Maka setiap melihat anggrek itu, saya melihat kekuatan keyakinan, atas segala sesuatu, betapapun lemahnya, siapapun akan menjadi amat kuat jika ia sedang rindu berjalan menuju cahaya.

Selasa, 15 Maret 2011

Memahami Ujian Hidup


Fitrah hidup manusia akan selalu dihiasi kesedihan dan kesenangan. Menyikapi keadaan yang demikian tentunya membutuhkan kecerdasan mental supaya menghasilkan pola sikap dan pola tindak yang berkualitas untuk kebaikan di masa yang akan datang.

Dalam pandangan Islam bencana dan nikmat merupakan ujian hidup yang diberikan Allah Azza wa Jalla sebagai pembelajaran agar manusia selalu mawas diri menjaga predikat mahluk yang diberikan kemuliaan. Ujian hidup pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan nilai-nilai kepantasan diri supaya manusia memiliki pribadi yang paripurna seperti pribadi Rosulullah SAW.

Pencapaian pribadi paripurna hanya dapat diraih melalui proses ujian yang bertahap sesuai dengan kapasitas, dinamis dan berkelanjutan sehingga berakhir pada satu titik yaitu kepantasan diri mendapatkan kebahagiaan hakiki.(bahagia dunia dan akhirat).

Tidak semua manusia bisa menempatkan diri sebagai pribadi yang pantas mendapat kebahagiaan salah satu penyebabnya adalah pola pandang yang salah tentang ujian hidup itu sendiri. Banyak manusia menganggap bahwa ujian hidup hanya dalam bentuk musibah yang buruk-buruk semata padahal nikmat yang baik-baik pun sebenarnya bentuk lain dari ujian hidup.

Dengan persepsi yang keliru mengakibatkan dangkalnya nilai hikmah yang bisa diambil dari setiap ujian hidup yang menimpa akibatnya tidak ada pembelajaran nilai untuk meningkatkan kualiatas iman dan amal. Padahal Allah Azza wa Jalla menghendaki dengan ujian hidup manusia berada pada jalan kebenaran agama, jalan yang diridha-Nya, jalan yang menempatkan manusia pada posisi kemuliaannya. Yaitu manusia yang berguna bagi manusia lain, manusia yang tidak melupakan Tuhannya, manusia yang taat kepada perintah-Nya, manusia yang selalu menjauhi larangan-Nya itulah yang dimaksud dengan jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberikan Kebahagiaan hakiki.

"Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran" (QS Al Araaf: 168)

Menjadi Mulia Tak Perlu Menunggu Kaya


Ini sebuah kisah nyata: ada dua orang wanita yang tinggal serumah. Keduanya selalu menyisihkan sebagian harta yang dititipkan Allah pada mereka dengan cara berinfak. Hal ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Tetapi tunggu, ulama tersebut melanjutkan kisahnya.

Siapakah kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu? Mereka bukanlah anak dan ibu atau kakak beradik. Lalu, siapakah gerangan mereka? Keduanya tak lain adalah seorang majikan dan pembantunya.

Tanpa diketahui oleh masing-masing, sang pembantu selalu menyisihkan rezeki yang diperoleh setiap kali menerima gaji, demikian pula dengan sang majikan. Secara logika kita pastinya berfikir bahwa penghasilan sang majikan lebih besar dari sang pembantu, maka infaknya pun tentu akan lebih besar. Sang pembantu, berapalah ia mampu infakkan, apalagi harus berbagi dengan kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak-anaknya.

Namun, Allah mempunyai matematika lain. Dengan gaji tak seberapa plus dipotong infak, ia hidup cukup. Anak-anaknya bersekolah sampai jenjang tertinggi.

Tentu saja bagi orang beriman yang mengakui bahwa hanya Allah yang berkuasa memberi rezeki, tak kan pernah heran atau terlontar tanya seperti demikian. Karena sudah jelas tercantum firman-Nya dalam Alquran:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261).

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS Al-Hadid: 18)

Demikianlah, Allah telah banyak menunjukkan salah satu contoh kekuasaan-Nya melalui kisah serupa. Sebagai sebuah pelajaran supaya cukuplah Allah tempat kita menyandarkan keyakinan sepenuhnya atas rezeki yang diberikan-Nya. Di samping itu kita tidak perlu merasa khawatir untuk bersedekah atau menginfakkan sebagian rezeki yang Allah titipkan tersebut karena janji Allah pastilah benar adanya. Kita pun tak perlu menunggu menjadi orang kaya untuk berbagi rezeki demi mendapatkan kemuliaan di hadapan-Nya.

“.... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS Al Hujuraat [49]:13).

Candu Diri Sendiri


Ternyata lebih gampang membangun gedung yang terbakar katimbang menangkap pembakarnya. Itulah yang dialami Pemerintah Kota Semarang yang telah meresmikan Gedung Setda belum lama ini. Rp 11,7 miliar dihabiskan untuk biaya renovasi. Sekitar 100 perajin dari Jepara didatangkan untuk menggarap ukiran kayunya. Sementara si pembakar entah sembunyi di mana. Pemkot telah menyerahkan urusannya pada polisi, polisi menyerahkan pada kejaksaan dan Kepala Kejaksaan mengaku belum banyak tahu karena ia adalah pejabat baru.

Fakta di atas bisa mengundang berbagai penafsiran. Tapi salah satu yang menarik ialah tentang tafsir yang menunjukkan betapa dalam kemiskinan pun kita lebih bersemangat membangun katimbang mencegah perusak pembangunan. Lebih gampang mengganti lampu-pampu taman yang pecah katimbang menangkap pemecahnya. Lebih baik mengaspal jalan kembali katimbang mencegah penggalian lobang yang bisa terjadi setiap kali.

Jalan pikiran kita dalam memecahkan masalah tampaknya memang lebih suka "berpikir ke depan" katimbang mengusut hal-hal yang ada di belakang. Maka jika publik mempersoalkan pemasangan papan reklame di kawasan terlarang, seorang pejabat bisa berkata: "Sudahlah kenapa harus dibesarkan-besarkan. Mari kita berpikir saja soal masa depan."

Jika penggalian harta karun kemudian memancing keributan, seorang petinggi bisa mengatakan: "Yang bersangkutan sudah dimarahi habis-habisan. Sudah minta maaf. Maka sudahlah." Jika seorang kedapatan korupsi dan publik ramai-ramai meminta keadilan hukum, seorang tokoh penting bisa berkata: "Kenapa pula harus ada hukuman. Toh duitnya sudah dikembalikan."

Kita seperti manusia yang diprogram hanya untuk bergerak maju dan berpikiran maju. Artinya, jika seorang pejabat tengah berkuasa, yang menyita pikirannya bukan program pembangunan secara terpadu, melainkan pembangunan menurut kepentinganku dan mumpung masih dalam periodeku. Soal kerepotan periode di belakangku bukan urusanku. Maka wajar jika hasil pembangunan bisa demikian ruwet.

Ada cukup bukti tentang kebijakan yang terbukti keliru. Ada tempat rekreasi yang dibuat hanya untuk tidak laku. Ada kebun binatang yang dipindah lokasi hanya untuk mati suri. Ada tebing-tebing dikepras yang membuat dataran tak memiliki tekstur tanah lagi. Ada restoran yang didirikan di atas ruang publik. Ada lapangan yang telah membawa kegembiraan dijual untuk lokasi bangunan....

Semua jenis kebijakan itu adalah indikasi betapa bersemangat kita ini dalam memikirkan masa depan: masa depan kita sendiri. Semangat itu bahkan telah melebar begitu jauh sampai ke sopir-sopir angkutan yang bisa berhenti dan ngetem sembarangan tak peduli bikin macet jalan. Sampai ke pedagang kaki lima yang menggasak trotoar dan merugikan para pejalan kaki. Sampai ke para pengusaha yang berhasil mengeruk kredit raksasa untuk dibikin macet secara sengaja. Sampai ke pemilik bank yang membobol banknya sendiri untuk dilarikan ke luar negeri....

Semua dari kita ternyata adalah pemikir masa depan yang hebat: masa depan kita sendiri. Maka terjadilah tabrakan kepentingan yang begitu hebat dengan akibat yang jelas: kebangkrutan Indonesia. Sementara dalam situasi bangkrut begini pembelaan atas diri sendiri itu terus saja berlanjut. Solar kembali langka karena punya potensi diselundupkan ke luar negeri dan dijual ilegal ke pihak industri. Makin tampak segar sayur-mayur Indonesia justru makin menakutkan karena dugaan banyaknya olesan pestisida.

Kita benar-benar manusia yang begitu mandiri karena di luar diri sendiri dianggap tak ada kepentingan lain lagi. Itulah kenapa di masa sulit, kita masih sempat membakar bendera tetangga dan merobohkan pagar kedutaaanya segala.

Tindakan ini sangat bisa dimengerti karena prioritas kita memang serba kepada diri sendiri. Maka demi menyalurkan kemarahan ini kita bisa menganggap remeh risiko bahwa orang lain juga bisa ganti membakar bendera, ganti bisa menganiaya dan mengangkat senjata. Perkara akibat dari ini semua akan timbul kerusakan hebat, apalah yang aneh dari kerusakan toh sudah sejak lama kita biasa melakukannya.

Maka ketersingungan diri sendiri ini harus dipertajam sedemikian rupa. Bahwa hukuman cambuk atas TKI itu memang tidak manusiawi. Maklum, kita adalah bangsa yang punya banyak cadangan kemanusiaan. Terbukti untuk menangkap seorang buron saja bisa butuh waktu demikan lama karena rasa tak tega. Mengadili kasus korupsi memang harus hati-hati karena tak enak hati. Apapun bentuk kesalahan seseorang harus segera mendapat pengampunan jika permintaan maaf sudah dilontarkan. Sebesar apapun sebuah masalah harus segera dikecilkan lewat anjuran "jangan dibesar-besarkan".

Sungguh mengagumkan cara kita mengabaikan masa silam. Itulah kenapa dunia hukum kita terkenal sangat lambat karena hukum memang selalu mengurus masa silam. Pengggerak hukum semacam itu logis jika kehilangan interes karena pikirannya memang selalu tersita ke masa depan: masa depannya sendiri. Akibatnya ada pemutus keadilan malah bisa ganti diadili, diusut kekayaannya, terancam dipecat atau minimal dimutasi karena diduga melakukan perbuatan tercela.

Tapi kalau mau tegas, pengadil yang mengadili petugas keadilan itu juga harus diadili karena memberi fatwa pengadilan yang tidak adil. Pengertian "melakukan perbuatan tercela" itu adalah kesalahan yang sangat tidak jelas bentuknya. Dan ketidakjelasan ini bisa saja disengaja sepanjang yang menjadi alasan memang demi nama baik korps sendiri, demi toleransi kolega sendiri. Jadi, kata "sendiri" itu begitu hebat perannya hingga bisa membuat orang lain tidak ada dan kepentingannya boleh dirusak begitu saja. (03)

Sumber: http://priegs.blogspot.com